Selasa, 05 Februari 2008

IMPLIKASI PERMASALAHAN BATAS KAWASAN HUTAN

Oleh : Ali Djajono
Konflik penggunaan lahan di dalam kawasan hutan tidak dapat dilepaskan salah satunya oleh eksistensi atau keberadaan batas kawasan hutan. Pengakuan terhadap eksistensi batas kawasan hutan antara lain ditentukan oleh pengakuan keberadaannya oleh masyarakat, adanya kejelasan batas di lapangan, kuatnya status hukum kawasan hutan. Namun demikian dinamika perkembangan penggunaan lahan oleh masyarakat serta dinamika pengaturan terhadap kawasan hutan selama sekitar 2 dekade ini telah memperburuk eksistensi batas kawasan hutan.

Pada dasarnya eksistensi batas kawasan hutan merupakan hasil dari proses pengukuhan kawasan hutan. Seperti diketahui pengukuhan kawasan hutan meliputi: penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, dan penetapan kawasan hutan. Kawasan hutan akan ada setelah suatu kawasan atau areal telah minimal ditunjuk oleh Menteri Kehutanan (sesuai kewenanngnya) sebagai kawasan hutan. Tentu saja termasuk batas-batasnya, walaupun itu masih di atas peta.

Dari sisi prakondisi pengelolaan hutan, mantapnya batas kawasan hutan mutlak diperlukan untuk mengatur dan menyusun rencana pengelolaan hutan. Kejelasan batas kawasan hutan menjadi prasyarat mutlak bagi para pengelola kawasan hutan dalam melaksanakan kegiatan pembangunannya. Melihat pentingnya batas kawasan hutan bagi pengelolaan hutan serta menyadari kenyataan lapangan akan adanya konflik penggunaan lahan (yang dapat menggangu proses pengelolaan hutan), menjadi penting untuk mengurai dan mandalami apa yang melatar belakangi timbulnya konflik kepentingan tersebut. Eksistensi batas kawasan hutan juga akan sangat diperlukan sebagai basis dalam perencanaan penataan ruang suatu wilayah.

Tulisan ini mencoba mengurai eksistensi batas kawasan hutan serta permasalahan yang melingkupinya. Didalamnya memuat antara lain: hukum kawasan hutan, kondisi batas kawasan hutan dan permasalahannya, penggunaan lahan dalam kawasan hutan untuk non kehutanan, Implikasinya bagi pembangunan sektor lain.

Hukum Kawasan Hutan

Apabila membicarakan kawasan hutan, tidak dapat dilepaskan dari UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam UU tersebut keberadaan kawasan hutan seperti diatur dalam pasal 4, yang bunyi lengkapnya, sebagai berikut :
1. Ayat (1) Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
2. Ayat (2) Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk:
a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan
c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
3. Ayat (3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Dalam UU tersebut kawasan hutan sendiri telah didefinisikan sebagai wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Penguasaan hutan oleh negara yang kemudian memberi kewenangan kepada Pemerintah (cq. Departemen Kehutanan) inilah yang menjadi dasar hukum bagi keberadaan kawasan hutan. Pemerintah kemudian menjabarkan pengaturan terkait kawasan hutan tersebut dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Kehutanan, serta peraturan-peraturan teknis di bawahnya. Peraturan perundangan yang mengatur kawasan hutan mengacu pada Bagian ketiga dari Bab tentang Perencanaan Kehutanan yang mengatur Pengukuhan Hutan, yang pada pasal 15 disebutkan bahwa pengukuhan hutan meliputi proses: Penunjukan Kawasan Hutan, Penataan Batas Kawasan Hutan, Pemetaan Kawasan Hutan, dan Penetapan Kawasan Hutan.
Lebih lanjut peraturan perundangan penjabaran yang menguraikan hukum kawasan hutan tersebut antara lain:
1. PP No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan,
2. Peraturan perundangan setingkat Menteri seperti: SK menhut No. 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pegukuhan Kawasan Hutan,
3. SK Menhut No. 613/Kpts-II/1997 tentang Pedoman Pengukuhan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam,
4. SK Menhut No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan. Serta SK Menhut No. 48/Menhut II/2004 tentang perubahan Keputusan Menhut No. 70/Kpts-II/2001.
Disamping itu keberadaan kawasan hutan juga telah diatur dalam peraturan perundangan bidang penataan ruang antara lain dalam PP No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dengan demikian pada dasarnya kawasan hutan secara hukum positif telah cukup kuat keberadaannya.

Pengertian dalam proses pengukuhan kawasan hutan (mulai dari penunjukan ke penetapan) dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Penunjukan kawasan hutan adalah penetapan awal suatu wilayah tertentu sebagai kawasan hutan yang dapat berupa penunjukan mencakup wilayah provinsi atau partial/kelompok hutan
2. Penataan batas kawasan hutan adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas, inventarisasi hak-hak pihak ketiga, pemancangan tanda batas sementara, pemancangan dan pengukuran tanda batas definitif.
3. Pemetaan kawasan hutan adalah kegiatan pemetaan hasil pelaksanaan penataan batas kawasan hutan berupa peta tata batas yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan berita acara tata batas.
4. Penetapan kawasan hutan adalah suatu penegasan tentang kepastianhukum mengenai status, letak, batas dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan tetapdengan keputusan Menteri.

Menilik pengertian-pengertian itu, maka kawasan hutan yang paling kuat status dan kedudukan hukumnya adalah kawasan hutan yang telah ditetapkan menteri, sedangkan penunjukan kawasan hutan masih lemah, karena belum ada penegasan batas di lapangan baru di atas peta.

Kawasan hutan sendiri sesuai fungsinya dikategorikan dalam: Kawasan hutan yang dikategorikan dalam kawasan lindung yaitu Kawasan Suaka Alam (KSA) yang terdiri Cagar Alam (CA), Suaka Margasatwa (SM); Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang terdiri Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (Tahura), Taman Wisata Alam (TWA); Taman Buru; dan Hutan Lindung (HL). Sedangkan yang dikategorikan sebagai kawasan budidaya adalah Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi Tetap (HP), dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK).

Kondisi Batas Kawasan Hutan

Kondisi kawasan hutan secara keseluruhan (apabila mengikuti proses pengukuhan hutan), dapat digambarkan secara umum sebagai berikut:
1. Penunjukan kawasan hutan, dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, sebanyak 30 provinsi telah ada penunjukannya (dengan catatan bagi provinsi pemekaran ada yang masih tergabung dengan provinsi induknya), sedangkan 3 provinsi masih menggunakan data penunjukan berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yaitu Riau, Kepulauan Riau dan Kalimantan Tengah. Secara keseluruhan kawasan hutan Indonesia (termasuk perairan) seluas + 137,09 juta Ha (Statistik Kehutanan, 2006). Dengan rincian Kawasan Konservasi (terdiri dari KPA dan KSA) seluas + 23,30 juta Ha, Taman Buru seluas + 233,8 ribu Ha, HL seluas + 31,60 juta Ha, HPT seluas + 22,50 juta Ha, HP seluas + 36,65 juta Ha, dan HPK seluas + 22,79 juta Ha.
2. Penataan batas kawasan hutan. Dari batas kawasan hutan sepanjang + 281.873 Km telah ditata batas sepanjang + 218.781,57 Km (terdiri batas luas dan batas fungsi) atau sudah mencapai 77,62 % (Statistik Kehutanan, 2006). Penataan batas ini dilaksanakan sebagian besar sebelum masa reformasi.
3. Penetapan kawasan hutan. Penetapan kawasan hutan ini meliputi 2 bentuk yaitu: penetapan batas partial dan penetapan kawasan hutan . Penetapan batas partial telah mencapai 146.065,43 Km (66 % dari kawasan hutan yang telah ditata batas). Sedangkan penetapan kawasan hutannya baru mencapai + 14 juta Ha atau sekitar 12 % dari luas kawasan hutan keseluruhan (Statistik Planologi Kehutanan, 2006).

Melihat data tersebut, kondisi kawasan hutan di Indonesia saat ini dapat dikategorikan dalam beberapa tingkatan, antara lain: a) kawasan hutan yang belum ditata batas, b) kawasan hutan yang telah ditata batas, tetapi masih dalam proses pengesahan dan penetapannya, c) kawasan hutan yang sebagian batasnya telah ditata batas dan disahkan oleh Mentari Kehutanan, d) kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan.

Data juga memperlihatkan bahwa walaupun penataan batas kawasan hutan telah mencapai 77,62 %, namun penetapan batasnya baru mencapai 66 % dan yang lebih memprihatinkan kawasan hutan yang telah ditetapkan baru sekitar 12 %. Hal ini mengindikasikan adanya kendala dan permasalahan terkait dengan tindak lanjut terhadap kawasan hutan yang telah di tata batas.

Kondisi riil tentang kawasan hutan termasuk batas-batasnya, yang akan diilustrasikan dalam uraian berikut menunjukkan betapa permasalahan yang melingkupi kawasan hutan sangat kompleks. Pertama keadaan batas kawasan hutan pada provinsi yang masih menggunakan penunjukan berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yaitu Riau, Kepulauan Riau dan Kalimantan Tengah; kedua keadaan batas kawasan hutan pada provinsi yang telah ada penunjukannya (TGHK telah diganti dengan penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi).

Batas kawasan hutan pada provinsi yang masih menggunakan penunjukan berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), memperlihatkan variasi permasalahan sebagai berikut:
1. Pada kawasan hutan yang telah ditata batas terdapat penggunaan lahan dalam kawasan hutan (al: tanah adat/ulayat, pemukiman, prasarana/fasilitas umum, sawah, perkebunan). Jenisnya dapat dikategorikan dalam:
a. Penggunaan lahan dalam kawasan hutan sebelum pelaksanaan tata batas kawasan hutan.
b. Penggunaan lahan dalam kawasan hutan setelah pelaksanaan tata batas kawasan hutan.
2. Pada kawasan hutan yang belum ditata batas terdapat penggunaan lahan dalam kawasan hutan. Jenisnya dapat dikategorikan dalam
a. Penggunaan lahan dalam kawasan hutan sebelum TGHK ditetapkan.
b. Penggunaan lahan dalam kawasan hutan setelah TGHK ditetapkan.

Batas kawasan hutan pada provinsi yang telah ditunjuk kawasan hutannya (TGHK telah diganti dengan penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi), memperlihatkan variasi permasalahan dari sisi internal dan eksternal:
1. Dari sisi internal, terdapat tata batas kawasan hutan (yang penataan batasnya berdasarkan TGHK) namun deliniasinya tidak sesuai dengan peta penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi. Untuk masalah ini sebenarnya telah ada payung hukum untuk penyelesaiannya yaitu SK Menteri Kehutanan No. 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Hutan, pasal 22 yang berbunyi “Kawasan hutan yang telah ditata batas dan tidak selaras dengan peta penunjukan kawasan hutan (dan perairan) yang ditetapkan oleh Menteri masih tetap berlaku sampai dengan diterbitkannya Berita Acara (BA) Tata Batas Kawasan Hutan yang selaras dengan peta penunjukan kawasan hutan tersebut dan dinyatakan penghapusannya didalam BA Tata Batas Kawasan Hutan. Namun demikian perbedaan deliniasi ini belum ada penyelesaiannya.
2. Dari sisi eksternal, terdapat variasi masalah:
c. Pada kawasan hutan yang telah ditata batas terdapat penggunaan lahan dalam kawasan hutan (al: tanah adat/ulayat, pemukiman, prasarana/fasilitas umum, sawah, perkebunan). Jenisnya dapat dikategorikan dalam:
· Penggunaan lahan dalam kawasan hutan sebelum pelaksanaan tata batas kawasan hutan.
· Penggunaan lahan dalam kawasan hutan setelah pelaksanaan tata batas kawasan hutan
d. Pada kawasan hutan yang belum ditata batas terdapat penggunaan lahan dalam kawasan hutan. Jenisnya dapat dikategorikan dalam
· Penggunaan lahan dalam kawasan hutan sebelum penunjukan.
· Penggunaan lahan dalam kawasan hutan setelah penunjukan.

Bagi penggunaan lahan yang eksis sebelum pelaksanaan penataan batas -sesuai peraturan perundangan mengenai penataan batas kawasan hutan- seharusnya telah diselesaikan permasalahannya melalui proses pengumuman batas sementara serta kesepakatan para pihak yang terkait dengan batas-batas kawasan hutan tersebut. Namun kondisi social-politik pada saat itu (dimana kekuasaan pemerintah begitu dominan) banyak pihak-pihak terkait yang dengan terpaksa atau memang kurang mengerti, menyepakati batas-batas kawasan hutan yang akan ditata batas. Disisi lain bagi penggunaan lahan yang terjadi setelah penataan batas, lebih merupakan ekspansi masyarakat yang lapar lahan maupun rencana pembangunan sektor non kehutanan yang kurang mengabaikan keberadaan kawasan hutan.

Di sisi itu, terdapat banyak pihak yang selalu menggugat dasar hukum keberadaan kawasan hutan. Pihak tersebut bisa datang dari masyarakat, LSM bahkan para pakar hukum pertanahan dari Pergururan Tinggi terkemuka di tanah air. Karena hukum kawasan hutan semacam itu, secara sejarah hukum tidak tepat serta pada dasarnya telah mematikan akses masyarakat terhadap hutan, bahkan dianggap telah membatasi hak-hak masyarakat lokal untuk membangun dirinya. Ini juga yang menjadi salah satu sebab timbulnya permasalahan-permasalahan batas kawasan hutan tersebut.

Dalam konteks lebih luas, kompleksitas permasalahan batas kawasan hutan akan sangat mempengaruhi proses rencana penataan ruang. Kawasan hutan dengan batas-batas kawasannya akan dijadikan basis data dalam mengatur ruang kehutanan pada proses rencana penataan ruang baik secara Nasional maupun Provinsi atau Kabupaten/Kota. Sebagai salah satu basis data penataan ruang, maka kejelasan posisi, letak batas kawasan hutannya termasuk status dan fungsinya harus jelas di lapangan maupun di peta. Disamping juga kejelasan itu akan sangat menentukan ketegasan arah dan rencana penataan ruang secara keseluruhan termasuk arahan penggunaan dan pemanfaatan ruangnya.

Kondisi batas kawasan hutan dan permasalahannya saat ini telah menjadi katup yang menghambat proses penyelesaian konflik lahan dalam kawasan hutan. Sebagai katup yang tertutup, maka masalah kawasan hutan menjadi “bottle neck” penumpukan masalah-masalah konflik lahan. Ujung-ujungnya menjadi “bottle neck” penyebab tersendatnya proses perencanaan penataan ruang serta penyusunan rencana pengelolaan hutan.

Bagi kehutanan solusi penyelesaian setiap konflik kawasan hutan harus mengikuti peraturan perundangan yang ada, baik itu melalui perubahan peruntukan kawasan hutan, perubahan fungsi kawasan hutan, enclave ataupun penyelesaian melalui jalur hukum. Solusi seperti itu merupakan jalan panjang dan berliku. Hal ini tidak saja akibat dari sisi peraturannya sendiri yang memerlukan waktu lama, tetapi juga keengganan pihak-pihak untuk mengakui hukum kawasan hutan maupun keengganan untuk mengikuti prosedur yang ada.



Implikasi dan Alternatif Solusi

Implikasi yang tampak jelas dari permasalahan batas kawasan hutan, antara lain adalah:
1. Berlarut-larutnya proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Riau, Kepulauan Riau dan Kalimantan Tengah, yang berakibat juga pada terlambatnya Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi (untuk menggantikan TGHK).
2. Berlarutnya penyelesaian konflik lahan dalam kawasan hutan.
3. Menjadi salah satu penyebab tersendatnya proses pembentukan unit pengelolaan hutan terkekecil dalam wujud Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
4. Terhambatnya proses penyusunan rencana pengelolaan kawasan hutan, yang akan dijadikan dasar penetapan pihak-pihak yang ingin memanfaatkan kawasan hutan (swasta, BUMN, masyarakat). Baik itu melalui pemberian ijin-ijin pemanfaatan hutan ataupun ijin penggunaan kawasan hutan.
5. Simpang siurnya data/informasi rinci berapa sebenarnya potensi kawasan hutan Indonesia yang sebenarnya. Hal ini akan berakibat pada kesulitan untuk menentukan target-target kuantifikasi dalam rencana pembangunan kehutanan.

Terdapat 2 alternatif solusi yang dapat dikedepankan yaitu solusi dalam jangka pendek dan solusi jangka panjang. Solusi jangka pendek harus dituntaskan terlebih dahulu sebelum menangani solusi jangka panjang. Solusi jangka panjang akan sangat tergantung pada kejelasan penyelesaian solusi jangka pendeknya.

Untuk jangka pendek yang harus dituntaskan adalah:
1. Penyelesaian data base kawasan hutan yang meliputi antara lain: penataan dokumentasi kawasan hutan termasuk efektifitas penelusuran dokumennya, inventarisasi rinci permasalahan kejelasan kebijakan standar penanganan terhadap perbedaan deliniasi batas kawasan hutan, kejelasan batas-batas kawasan hutan dalam peta dasar baik yang telah ditata batas sampai yang masih berupa penunjukan, kejelasan batas-batas kawasan baru sebagai akibat dari perubahan peruntukan maupun fungsi kawasan hutan.
2. Penyusunan solusi hukum alternatif untuk menjamin efektifitas penyelesaian kasus konflik kawasan hutan. Peraturan perundangan yang ada saat ini dirasa belum bisa mendukung efektifitas percepatan penyelesaian konflik kawasan hutan. Termasuk didalamnya dengan menciptakan sinkronisasi hukum kawasan hutan dengan persoalan tenurial terkait dengan hutan adat.

Untuk jangka panjang yang bisa ditempuh antara lain:
1. Mensosialisaikan batas kawasan hutan sampai ke masyarakat yang paing berdekatan dengan kawasan hutan, dengan bekal kelengkapan dyang dimiliki
2. Menyebarkan dan menginformasikan peta batas kawasan hutan kepada pihak-pihak terkait Pusat dan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota), dimana peta tersebut menjadi satu-satunya acuan batas kawasan hutan yang diakui Dephut. Langkah ini untuk antisipasi awal bagi pengembangan dan pembangunan wilayah yang akan menggunakan kawasan hutan oleh institusi di luar kehutanan.
3. Selalu ikut berperan aktif dalam proses-proses penataan ruang baik di tingkat Pusat maupun Daerah. Termasuk dalam penyusunan kebijakan yang menyangkut tenurial.
4. Selalu memasukkan kebijakan pentingnya eksistensi kawasan hutan dalam kebijakan-kebijakan ditingkat Nasional maupun sektor kehutanan (RPJP, RPJM, RKP, Renstra, Renja dll).
5. Memperkuat kelembagaan Pusat dan daerah yang menangani kawasan hutan. Baik itu Institusi Planologi kehutanan Pusat beserta UPTnya, maupun Unit organisasi di Provinsi atau Kabupaten. Koordinasi dan sinkronisasi anatr lembaga Pusat dan daerahpun harus terus dijalin, untuk efektifitas penanganan konflik serta menghindarkan kesimpang siuran kebijakan.
6. Memperkuat SDM yang menangani kawasan hutan di tingkat Pusat dan Daerah, baik tingkat Departemen maupun Dinas Kehutanan Provinsi/Kabupaten/Kota.


** Perencana Madya pada Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan.

1 komentar:

Andre Djatmiko mengatakan...

Wah wah ... repot banget ya pak Ali, kalo permasalahan batas kawasan sampai hari ini engga selesai2, bahkan batas kawasan yang sudah ditetapkan berdasarkan TGHK dianggap tidak valid karena engga ada deliniasi, terus kalo menentukan illegal logging karena melampaui batas yang ditentukan dasarnya apa?
Apa dasarnya illegal mapping dan illegal planning?, terus apa gunanya pengesahan rencana2 karya?

- andre -